Sikap Optimistis Kurangi Risiko Serangan Jantung

Agustus 23, 2009

BEIJING, KOMPAS.com — Sikap optimistis dapat mengurangi risiko serangan jantung atau bahkan kematian, demikian hasil satu studi baru.

Studi yang dilakukan beberapa peneliti dari University of Pittsburgh mendapati, orang yang gembira dan memiliki harapan cenderung berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menjalani hidup dengan pandangan yang lebih suram.

Studi itu telah melacak lebih dari 97.000 perempuan Amerika yang telah memasuki masa menopause selama lebih dari delapan tahun, studi terbesar sampai saat ini mengenai dampak berpikir positif pada kesehatan.

Semua perempuan yang ikut dalam studi tersebut menyelesaikan berbagai survei saat memasuki studi guna menilai tingkat optimisme mereka dan tingkat sinisme serta permusuhan secara umum.

Setelah mengikuti perkembangan mereka selama delapan tahun, dibandingkan dengan orang pesimistis, orang yang optimistis memiliki risiko 9 persen lebih rendah terkena serangan jantung dan 14 persen lebih rendah terhadap kemungkinan kematian.

“Kebanyakan bukti menunjukkan bahwa tingkat kenegatifan yang lebih tinggi dan terus-menerus berbahaya bagi kesehatan,” kata Dr Hilary A Tindle, ahli penyakit dalam di University of Pittsburgh Medical Center dan penulis utama laporan mengenai studi tersebut.

Meskipun tim penelitian itu mengatakan bahwa tidak jelas mengapa orang yang optimistis lebih sehat, hasil studi tersebut menunjukkan orang yang optimistis memiliki kemungkinan lebih kecil menjadi tertekan dan melampiaskannya pada rokok. Pada saat yang sama, orang yang optimistis tampak lebih muda dan memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi serta penghasilan lebih besar.

Sumber : ANT


Debat Seputar MSG

Agustus 23, 2009

Kompas.com. Ada banyak perdebatan yang terjadi seputar tingkat keamanan MSG (monosodium glutamat)  untuk kita konsumsi. Tapi benarkah semua tuduhan itu? Bagaimana pendapat otoritas pengawas makanan ternama dunia tentang profil keamanan MSG?

MSG dibuat dari molasses tebu atau dari tepung jagung, singkong, beras, atau sagu. Melalui proses fermentasi oleh mikroba, unsur karbohidrat dari bahan-bahan tersebut diolah menjadi glutamat. Glutamat yang dihasilkan bakteri ini lalu melalui berbagai proses lagi, seperti netralisasi, dekolorisasi (membuang warna sehingga menjadi putih), pengkristalan, pengeringan, pengayakan, dan terakhir pengepakan hingga siap untuk dipasarkan.

MSG, sesuai namanya, adalah natrium dan glutamat. MSG mengandung natrium sekitar 12% dari berat MSG, dan 78% glutamat, sedangkan sisanya adalah air sebanyak 10%. Natrium adalah mineral yang juga merupakan komponen utama garam. Glutamat adalah salah satu jenis protein yang merupakan komponen alamiah berbagai jenis makanan seperti daging, ayam, makanan laut, sayuran dan juga bumbu masak, seperti terasi.

Tinjauan tentang MSG
Sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, sudah dikenal bumbu masak sejenis kecap ikan untuk meningkatkan rasa gurih pada makanan. Orang Yunani menyebutnya sebagai garon dan orang Romawi menyebutnya garum atau liquamen.

Di Asia, selain kecap ikan, penduduk Jepang menggunakan perisa makanan yang berasal dari kaldu rumput laut yang disebut kombu. Pada tahun 1908 (seabad yang lampau), Profesor Kikunae Ikeda berhasil mengetahui bahwa MSG yang ada di dalam kombu ternyata menimbulkan rasa gurih tersebut.

Sekarang ini, asupan harian MSG di negara maju berkisar antara 0.3 -1.0 gram per hari. Angka asupan ini mungkin lebih tinggi di negara-negara Asia. Pada tahun 1995 FASEB menjawab permintaan dari badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat FDA (Food and Drug Administration) untuk meneliti keamanan MSG terkait dengan banyaknya isu negatif tentang MSG.

FASEB adalah singkatan dari Federation of American Societies for Experimental Biology, lembaga di Amerika Serikat yang mendedikasikan diri untuk penelitian seputar ilmu biologi dan biomedis.

Dalam laporannya pada FDA, FASEB mengemukakan fakta-fakta ilmiah sebagai berikut di bawah ini:

1. Apakah MSG Menyebabkan Timbulnya “Chinese Restaurant Syndrome”?
MSG dituduh sebagai biang keladi penyebab berbagai keluhan, yang disebut dengan istilah Chinese Restaurant Syndrome. Istilah ini berasal dari kejadian, ketika seorang dokter di Amerika makan di restoran China, kemudian mengalami mengalami mual, pusing, dan muntah-muntah. Sindrom ini terjadi disinyalir lantaran makanan China mengandung banyak MSG. Laporan ini kemudian dimuat pada New England Journal of Medicine pada 1968. Secara lengkap, sindrom atau kumpulan gejala itu terdiri dari:

– Rasa terbakar di bagian belakang leher, lengan atas dan dada
– Rasa penuh di wajah Nyeri dada
– Sakit kepala Mual
– Berdebar-debar
– Rasa kebas di belakang leher menjalar ke lengan dan punggung
– Rasa kesemutan di wajah, pelipis, punggung bagian atas, leher, dan lengan.
– Mengantuk
– Lemah

Berbagai penelitian ilmiah selanjutnya tidak menemukan adanya kaitan antara MSG dengan sindrom restoran China ini. Faktanya, mungkin ada sekelompok kecil orang yang bereaksi negatif terhadap MSG sehingga mengalami hal-hal tersebut.

Namun belum jelas berapa persen dari penduduk yang mengalami hal ini. Selain itu, reaksi negatif MSG ini baru muncul bila orang tersebut makan sedikitnya 3 gram MSG tanpa makanan (dalam kondisi perut kosong). Keadaan ini bisa dikatakan sangat jarang terjadi, karena MSG biasanya dicampurkan ke dalam masakan. Selain itu, terdapat juga bahan makanan lain, terutama karbohidrat, yang dimakan bersamaan dengan MSG.

2. Apakah Benar MSG Menimbulkan Sesak Napas Pada Penderita Asma?
Menurut saya, sesak napas pada penderita asma setelah mengonsumsi MSG, mungkin terjadi bila penyakit asmanya tidak terkontrol atau tidak diobati sebagaimana mestinya.

Sementara untuk dugaan antara konsumsi MSG dengan timbulnya lesi (luka) pada otak, munculnya penyakit Alzheimer, Huntington Disease, amyotopic lateral sclerosis, dan penyakit kronis lainnya, FDA telah mengambil tindakan. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat ini telah meminta FASEB untuk menelaah ulang semua penelitian tentang efek kesehatan MSG.

Laporan final FASEB diterbitkan dalam buku seteba1350 halaman untuk FDA pada tangga131 Juli 1995. Berdasarkan laporan ini, FDA berpendapat bahwa tidak ada bukti ilmiah apa pun yang membuktikan bahwa MSG atau glutamat menyebabkan lesi otak dan penyakit kronis.

3. Apakah Bayi Dan Anak Kecil Tidak Dianjurkan Untuk Mengonsumsi MSG?
European Communities Scientific Committee for Foods pada tahun 1991 melaporkan bahwa MSG aman. Sehingga, badan ini tidak menentukan batas asupan harian MSG. Komisi ini juga menyatakan bahwa bayi, termasuk bayi prematur dan anak-anak mampu memetabolisme glutamat seperti orang dewasa, sehingga aman mengonsumsi MSG.

FDA juga berpendapat serupa dengan komisi Eropa ini. Namun FDA tetap menganjurkan kita untuk menghindari pemberian aditif makanan pada bayi.

Kesimpulannya, MSG atau vetsin aman untuk digunakan atau dikonsumsi dalam makanan sehari-hari. Berbagai “mitos” tentang efek samping MSG tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat, sehingga seluruh badan pengawasan makanan dunia masih menggolongkan MSG sebagai bahan yang “Generally Regarded as Safe” (GRAS) dan tidak menentukan berapa batas asupan hariannya.

Narasumber: Dr.Johanes C.Chandrawinata, MND, Sp.GK, dokter spesialis gizi klinik dari Rumah Sakit Melinda, Bandung.


Sehat Dimulai dari Minyak

Agustus 23, 2009

KOMPAS.com – Penganan yang diolah dengan cara digoreng memang terasa enak dan gurih. Tapi, jangan lupa bahaya kesehatan dibalik minyak goreng.

Menggoreng merupakan salah satu cara memasak yang sudah dikenal di berbagai dunia. Dalam proses menggoreng, minyak berfungsi sebagai medium pengantar panas, penambah rasa gurih, nilai gizi, dan kalori bagi makanan yang digoreng.

Proses pemanasan minyak goreng akan menimbulkan sejumlah perubahan pada sifat fisik dan kimianya. Perubahan sifat fisik pada minyak selama penggorengan menyebabkan minyak jadi lebih kental, perubahan warna lebih cair, penurunan titik cair, serta terbentuknya busa selama penggorengan. Sedangkan kerusakan kimia meliputi polimerisasi, hidrolisis, atau oksidasi yang merusak vitamin yang terkandung dalam minyak.

Minyak goreng yang telah dipakai secara berulang-ulang atau disebut juga minyak jelantah bisa merugikan kesehatan tubuh. Untuk menekan biaya produksi, sebagian pedagang gorengan biasanya tidak membuang minyak jelantah tersebut, tetapi selalu menambahkannya dengan minyak yang baru.

Minyak jelantah biasanya telah rusak akibat proses penggorengan dalam suhu tinggi. Minyak yang rusak akan menghasilkan makanan gorengan dengan rupa yang tidak menarik dan rasa tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak yang terdapat dalam minyak.

Menurut Prof.Dr.Ir.Made Astawan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor, dalam buku Kandungan Gizi Aneka Bahan Makanan, makanan yang digoreng tipis, seperti keripik, mempunyai daya serap minyak yang lebih besar daripada makanan goreng yang tebal.

Pada makanan yang tebal, yang menyerap minyak hanya lapisan luar, sedangkan lapisan dalamnya mengandung air (contohnya pisang atau ubi). Permukaan paling luar dari makanan yang digoreng berwarna cokelat kekuningan. Warna tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu, dan lama penggorengan.

Beberapa hasil penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pemberian minyak yang sudah rusak (akibat pemakaian berulang pada suhu tinggi) ke dalam ransum, dapat menyebabkan  gejala karsinogenik (kanker akibat adanya berbagai senyawa beracun), dan berbagai penyakit seperti diare dan aterosklerosis.

Untuk menjaga kesehatan, para ahli menyarankan sebaiknya minyak goreng dipakai maksimal empat kali periode penggorengan. Periode artinya minyak jelantah telah mengalami proses pendinginan sebanyak tiga kali. Namun, jika penampilan jelantah sudah kehitaman, kental, dan berbuih ketika dipanaskan kembali, sebaiknya dibuang saja.
AN


Sebutir Telur untuk Kesehatan

Agustus 23, 2009

KOMPAS.com — Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya kolesterol, selain daging, kuning telur kini termasuk makanan yang dihindari. Padahal, para ahli kini menyimpulkan bahwa telur tidak memengaruhi kadar kolesterol secara signifikan.

Hal itu didukung oleh data statistik berdasarkan 224 studi mengenai diet yang dilakukan selama 25 tahun. Diketahui bahwa bukan kolesterol yang memengaruhi kadar kolesterol dalam darah, tetapi lemak jenuh. Telur diketahui hanya mengandung sedikit lemak jenuh.

Penelitian terkini juga menunjukkan bahwa mengonsumsi telur bisa memperbaiki kadar lipid (kolesterol) seseorang yang kolesterolnya naik saat mengonsumsi makanan kaya kolesterol.

Ada begitu banyak nutrisi penting dalam sebutir telur. Sebut saja choline, yang sangat penting untuk fungsi otak dan kesehatan.

Satu buah kuning telur mengandung lebih dari 25 persen kebutuhan choline setiap hari. Orang dewasa membutuhkan 425 g choline per hari, sedangkan anak balita butuh 250 gr per hari. Sebuah penelitian mengungkapkan konsumsi choline yang cukup bisa menurunkan risiko kanker payudara.

Telur juga mengandung anti-oksidan serta lutein yang membantu mencegah gangguan penglihatan akibat penuaan dan katarak. Kadar lutein dalam telur bahkan lebih banyak dibanding pada sayuran berdaun hijau.

Orang yang punya penyakit jantung pun tidak disarankan untuk pantang telur. Mereka disarankan untuk mengurangi konsumsi kuning telur menjadi dua kali dalam seminggu. Studi terkini juga tidak menemukan kaitan antara makan enam kuning telur setiap minggu dengan kejadian serangan jantung atau stroke pada orang sehat.

Untuk mendapatkan manfaat lebih dari telur, saat ini di pasaran tersedia telur yang sudah diperkaya dengan omega-3. Telur yang diperkaya ini termasuk dalam telur plus-plus. Karena selain mengandung nutrisi dalam telur, juga mengandung asam lemak yang melindungi jantung.

Para ahli merekomendasikan konsumsi 1.000 mg DHA dan EPA setiap hari, mengingat kebanyakan orang jarang mengonsumsi ikan. Untuk mendapatkan manfaat yang sama, disarankan mengonsumsi telur yang sudah diperkaya dan mengandung 300 mg omega-3 ini.


Cegah Pikun dengan Ikan

Agustus 23, 2009

KOMPAS.com — Bersamaan dengan bertambahnya usia, pada umumnya terjadi pula penurunan fungsi organ tubuh dan perubahan fisik. Masalah yang juga datang di usia senja adalah menurunnya kemampuan kognitif dengan gejala mudah lupa, dan jika parah menyebabkan kepikunan.

Faktor gizi ternyata memegang peran yang penting dalam mencegah penurunan kognitif para warga senior. Salah satu bahan makanan yang disarankan untuk para lansia adalah konsumsi ikan. Penelitian menunjukkan, kakek-nenek dari negara-negara berkembang yang rutin mengonsumsi ikan memiliki risiko terkena demensia (pikun) lebih kecil.

Penelitian tersebut dilakukan terhadap 1.500 warga senior di China, India, dan salah satu negara Amerika Latin. Mereka yang semula tidak pernah mengonsumsi ikan, kemudian mulai makan ikan beberapa hari dalam seminggu, sampai akhirnya makan ikan setiap hari, prevalensi demensia-nya berkurang hingga 19 persen.

Penelitian yang dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition ini bukan hanya menunjukkan kaitan sederhana antara konsumsi ikan dan demensia. Diketahui pula bahwa para lansia yang sering makan daging memiliki prevelansi demensia lebih tinggi dibanding yang tidak pernah makan daging.

Karena studi tersebut dilakukan dengan metode satu kali survei, maka sebagian ahli menilai studi tersebut tidak menunjukkan sebab akibat.

“Sebenarnya bukti tambahan bisa didapatkan dari studi selanjutnya yang bersifat follow-up secara berkala untuk melihat kaitan antara konsumsi ikan dan berkurangnya risiko demensia,” kata dr Emiliano Albanese, dari King’s College London, Inggris.

Bila ikan memang melindungi otak dari proses penuaan, para ahli percaya manfaat itu didapat dari kandungan lemak jenuh omega-3 yang banyak terdapat pada minyak ikan, seperti salmon, makarel, atau albacore tuna.

Penelitian di laboratorium menunjukkan, omega-3 memiliki kandungan yang bisa mencegah demensia, seperti melindungi sel saraf, mengurangi inflamasi, dan membantu mencegah pembentukan protein amyloid yang sering ditemui pada otak pasien alzheimer.

Hasil riset terkini ini didapat dari penelitian terhadap 14.960 lansia berusia 65 tahun ke atas yang tinggal di China, India, Kuba, Republik Dominika, Meksiko, Peru, dan Venezuela. Hubungan antara menurunnya demensia dan konsumsi ikan secara konsisten ditemukan pada responden dari berbagai negara itu, kecuali India.

Demensia merupakan suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian. Kemunduran yang paling dominan ditemui adalah berkurangnya kemampuan memori atau daya ingat.
AN
Sumber : Reuters